RSS

Minggu, 29 Januari 2017

3 Ekpektasi dan Realita Sebelum dan Sesudah Di Turki




‘Disana pasti orangnya ramah-ramah, kan mereka asia juga.’
‘Sepertinya Islam disana kuat dan kental sekali, katanya di mesjid mereka saat subuh selalu penuh.’
‘Senangnya aku akan tinggal di negara dengan empat musim, akhirnya aku akan bisa lihat salju juga dikehidupan nyata.’
‘Aku akan buat boneka salju yang besar dan main perang salju disana.’
‘Pasti tempat disana cantik-cantik.’
‘Senangnya aku akan punya teman internasional, pasti mereka seru-seru’


Semenjak aku mendapatkan surat penerimaan untuk melanjutkan kuliahku di Turki pikiranku selalu melayang-layang kesana kemari. Entah memikirkan plan-plan yang akan aku lakukan disana, entah membayangkan indahnya kehidupan di bumi Allah belahan lain tersebut, entah membayangkan teman-teman baru dari seluruh penjuru dunia yang akan kutemui nantinya, semua berkecamuk dipikiranku seakan memenuhi seluruh ruang kosong diotakku.

Hari demi hari kuhitung dengan tak sabar seakan anak kecil menunggu liburan tiba. Persiapanku sudah lebih dari cukup ku pikir, bahkan terkesan berlebihan. Maklum saja anak yang sejak kecil lahir, tumbuh dan selalu tinggal bersama orang tua juga selalu berada di kota, bahkan tempat yang sama setiap harinya akan pergi jauh ke tempat yang bahkan tak pernah sedikitpun tersirat dipikiran untuk ditinggali, bahkan hanya sekedar untuk dikunjungi.

persiapan berangkat ke luar negeri ile ilgili görsel sonucu
Paspor

Hari yang kutunggupun tiba menyapaku, diselimuti sejuta rasa yang tak dapat kuungkapkan hingga terbanglah aku ke daratan Anatolia. Senang rasanya saat aku tiba pertama kali di Istanbul, semua impian yang aku dampakan bak bergelimang didepan mataku. ‘Ya sebentar lagi kau akan dapatkannya Ilma’ pikirku. Penerbangan keduaku membawaku pada tujuan akhirku Konya, dibalik awan aku menyapanya lembut ‘Konya, aku datang’. Dataran luas tak berujung bagai padang pasir berselimut semak, seakan tak ada pohon besar yang sanggup hidup daratan ini, gersang, sepi... ‘mungkin tak masalah selama udaranya masih bisa berkompromi buatku’ pikirku positif.

Aku mungkin terlahir untuk menjelajah, tak pernah ada sedikitpun kata jemu untukku, untuk menjelajahi tempat baru, dunia baru, lingkungan baru. Setiap hari tramvay*1 membawaku pulang pergi berkelana ke tengah kota, ke kabupaten lain, ke tempat lain. Dengan menjelajah aku belajar, dengan menjelajah aku paham dengan merasakan yang terjadi disekitarku. Dan dengan menjelajah aku menemukan kejadian yang tak kuduga. Aku berdiri untuk menunggu tramvay yang akan membawaku kembali ke asrama tempatku bermukim, aku melihat sesosok manusia yang sedang duduk di halte tramvay. Dari garis matanya siapapun bisa mengira dia sudah banyak makan garam, kerudungnya sangat panjang hingga aku tak bisa melihat separuh dari rok yang ia kenakan, bahkan mukanya pun tertutup rapi oleh cadar yang menggantung anggun diwajahnya. Ia perlahan mengeluarkan sesuatu silinder dari dalam sakunya seraya menyalakan silinder itu dengan api yang ia dapat dari sakunya. Ya dia merokok, dia merokok...aku tak habis pikir bagaimana orang yang begitu tertutupnya berani merokok didepan umum.
kapali kiz sigara icer ile ilgili görsel sonucu

                Aku sudah tak ingin lagi memikirkan orang tua tadi, mungkin memang kebiasaan dia saja yang begitu, mungkin hanya dia saja. Ketika aku mulai mencoba berpikir positif ketika itupun aku mulai melihat orang-orang sperti ibu tua tadi lagi di depanku, disampingku, dimanapun aku berada meski tak setiap saat. Bukan hanya para lelaki, tapi wanita, ibu-ibu, nenek-nenek pun tak luput dari benda silinder yang satu ini. Hingga aku mulai menghapus pikiranku untuk hal ini, aku mulai tak perduli. Meski hatiku seakan tercambuk sakit, mungkin hanya aku yang merasakannya, mungkin. Bagaimana tidak, negara yang dulunya kakhalifahan, yang katanya menganut sistem keIslaman yang kuat ternodai oleh orang-orang mereka sendiri, belum lagi kalau aku melihat para pemabuk yang berkeliaran dan orang bercumbu ditempat umum. Sakit...

                Terlepas dari rasa sakit hatiku, aku tetap semangat untuk belajar bahasa Turki di universitasku. Disini kami belajar langsung dengan orang turunan Turki asli. Ya, Turki asli... ia tak bisa bahasa lain salain Turki. Aku tak merasa terganggu akan hal itu. Selama dunia canggih, selama internet terkendali aku masih dapat browsing kata-kata yang aku tak mengerti dengan perangkat telefon pintarku.

Memiliki kelas internasional memang terkesan sangat keren, apalagi dengan latar belakang negara yang begitu berbeda satu sama lain. Sangat menarik dan juga menyenangkan. Namun insan tak luput dari ketidaksempurnaan, dimanapun kalian berada, diapapun mereka tak perduli asal mereka, mereka tetaplah manusia.
Foto Ilma Alya Nabila.
Kelasku Saat Tour
Waktu ke waktu karakter mereka mulai terlihat jelas didepan mataku. Penyabar, telili, suka menolong, jail, senang membuat masalah, keras kepala, semua karakter yang kalian bisa sebutkan seakan berkumpul dalam lingkungan tempat tinggalku. Hingga pada suatu hari di kelas persiapan akar masalah mulai bermunculan kepermukaan. Kami sering berdebat satu sama lain, terkadang kami atau mereka bermain etnis, perdebatan yang tak berujung bahkan satu dari mereka mencoba menjatuhkan reputasi negara kami didepan etnis lainnya. Guru kami bukan tak ikut membasmi masalah ini tapi ia juga terkena serangan permainan etnis ini hingga suatu hari ia bagai kebakaran jenggot dan kecewa terhadap orang tersebut.

Tanah air... meskipun kita bermain etnis disana tak pernah terjadi sekeras ini. Kelas internasional memang menyenangkan, tetapi tantangan internasional juga lebih besar kalau aku tak mampu menangkasnya dengan sigap dan menyelesaikannya dengan bijak bukan hal yang mudah, dan aku menyadarinya disini.

Daun-daun yang berguguran sudah memenuhi penjuru kota, begitupun dengan keadaan didalam kampusku ini, angin yang menerpa mulai dingin, terasa lebih dingin dari sebelumnya, terasa mulai tak bersahabat lagi. Musim dingin pertamaku di Konya. Aku memang sangat penasaran dengan butiran es berterbangan yang akrab disapa salju. Tapi dingin ini seakan membekukan syaraf-syaraf persendianku, membekukan tulangku, membuat darah keluar dari hidungku, membuat dagingku memerah bahkan mengungu bak daging sapi yang dijual dipasar. Ohh dingin musim dingin ternyata menyiksaku, sakit rasanya menghirup udara ini kepalaku pusing tujuh keliling, dadaku sesak oleh udara ini. Perjuangan...

Butiran putih yang kutunggu datang juga, aku berlari keluar untuk menangkap mereka bagai anak kecil melihat balon berterbangan. Butiran lembut yang menyentuh telapak tanganku lenyap dalam sekali sentuhan. Bentuknya indah persis gambaran salju yang dilukiskan dengan bentuk segi enam, alangkah indah ciptaan-Nya. Kali pertama aku melihat salju secara nyata. Bola salju, boneka salju, benteng salju, perang salju, semua sudah kubuat bahkan aku berkali kali menjatuhkan diriku diatas tumpukan-tumpukan salju itu. Merasakan bahwa ini nyata...
bentu salju ile ilgili görsel sonucu
Bentuk Salju
Roda terus berputar hingga pada akhirnya aku tak begitu simpati lagi dengan salju di kota ini, daratan ditengah Turki yang dipenuhi dengan gurun berselimut semak mempengaruhi keadaan salju dikota ini. Dingin yang terus menyelimuti tempat ini membuat salju yang terjatuh dijalanan membentuk es batu, menyatu satu dengan yang lainnya, mengeras sekeras batu dan licin yang tak bisa kugambarkan lagi dengan kata-kata.
salju mengeras ile ilgili görsel sonucu

Licin... akar masalah yang membuatku segan dengan benda ini, dan sungkan untuk bercengkrama dengannya lagi. Suatu hari saat aku pergi ke tempatku belajar, dengan terburu-buru aku melangkahkan kakiku agar tak terlambat. Ku langkahkan kakiku pada aspal hitam yang terbentang dihadapanku, namun dalam satu injakan *gedebug* aku terjatuh dengan keadaan duduk. Sakit? Iya, malu? Apa lagi.. aku terjatuh ditengah keramaian, dingin pula. Untung ada seorang wanita yang berjalan dibelakangku dan mencoba menolongku, jika dia tak ada entah bagaimana nasibku. Dihari yang sama kuputuskan untuk memeriksakan keadaanku. Hasil rontgen menunjukan bahwa tulang ekorku sedikit bermasalah, ia masuk dan membengkok yang membuatku sakit ketika akan tidur dan juga bangun. Sejak saat itu hubunganku dengan salju tak sebaik dulu. Ia memang cantik dan bersinar, namun ku tersadar yang bersinar tak selalu indah...

Ekspektasiku akan Turki dan lingkungan disini tak selalu seperti apa yang kupikirkan. Tak pada wanita tua yang merokok tersebut, tak pada lingkungan internasional yang seru dan menyenangkan, tak juga dengan salju yang terlihat bersinar itu. Terlepas dari itu semua, setiap hal adalah kenangan dan pelajaran...


 What's the meaning? (Apa artinya?)
*1 kereta dalam kota 

Sumber Foto :
http://www.cankiri.tv/
forumdetik.com
http://www.kompasiana.com/
https://jelajahdunia.wordpress.com/

Tulisan ini dibuat untuk FLP Challenge (www.flpturki.com.) see the site for more :)

0 komentar: